Belakangan ini, nama Dedi Mulyadi kembali ramai dibicarakan. Bukan karena prestasi baru, tapi karena pernyataannya soal pekerjaan rumah (PR) siswa yang ia anggap bukan bagian dari sistem pendidikan yang sehat. Dedi menyebut bahwa anak-anak seharusnya belajar di sekolah, bukan di bebani PR di rumah. Namun, pernyataan itu justru mendapat pembahasan tajam dari anggota DPR kritik Dedi Mulyadi. Mereka menilai, urusan seperti PR seharusnya tidak masuk dalam intervensi seorang gubernur.

Awal Mula Anggota DPR Kritik Dedi Mulyadi

Anggota DPR kritik Dedi Mulyadi karena anggap larangan PR sekolah bukan kewenangan gubernur. Dedi Mulyadi, dalam kapasitasnya sebagai Gubernur, menyampaikan bahwa PR sebaiknya di hapuskan. Menurutnya, setelah pulang sekolah, anak-anak berhak mendapatkan waktu untuk bermain, bersosialisasi dengan keluarga, atau sekadar beristirahat. Ia merasa bahwa sistem belajar seharusnya cukup dilakukan di sekolah, bukan di bawa pulang.

Namun, pernyataan ini mengundang respons keras dari berbagai kalangan, terutama anggota DPR. Mereka menilai Dedi terlalu ikut campur dalam kebijakan teknis pendidikan yang seharusnya menjadi kewenangan sekolah, guru, dan dinas pendidikan.

DPR: Gubernur Tak Punya Kewenangan Teknis Soal Kurikulum

Beberapa anggota DPR menegaskan bahwa gubernur tidak punya wewenang untuk mencampuri hal-hal teknis seperti penugasan PR. Menurut mereka, setiap sekolah memiliki otonomi dalam menentukan metode pembelajaran, termasuk memberikan tugas kepada siswa. Mereka juga mempertanyakan dasar dari kebijakan itu. Apakah sudah di kaji secara mendalam? Apakah melibatkan para ahli pendidikan?

Pernyataan para wakil rakyat ini cukup beralasan. Pendidikan bukan hanya soal efisiensi waktu atau kenyamanan siswa semata. Ada banyak aspek yang harus di pertimbangkan termasuk bagaimana PR bisa menjadi bagian dari proses pembelajaran untuk membangun kedisiplinan, tanggung jawab, dan kemandirian.

Baca Juga Berita Menarik Lainnya Di nationalsolarservice.com

PR: Masih Relevan Atau Sudah Ketinggalan Zaman?

Di tengah kemajuan teknologi dan perubahan pola pikir pendidikan modern, PR memang sering jadi bahan perdebatan. Ada yang menganggapnya ketinggalan zaman dan hanya membebani siswa. Tapi di sisi lain, banyak juga yang melihat PR sebagai alat bantu pembelajaran yang efektif.

Yang jadi masalah adalah ketika kebijakan seperti ini muncul secara sepihak. Bukan lewat diskusi bersama tenaga pendidik, bukan juga berdasarkan hasil riset panjang, tapi hanya berdasarkan opini pribadi. Jika benar gubernur bisa mengatur sampai detail seperti ini, lalu apa tugas guru dan kepala sekolah?

Gaya Kepemimpinan Dedi yang Dianggap Terlalu Intervensif

Ini bukan kali pertama Dedi Mulyadi mengeluarkan kebijakan yang menimbulkan polemik. Sebelumnya, ia juga sempat melarang study tour bagi siswa sekolah. Lagi-lagi dengan alasan efisiensi dan menghindari beban biaya bagi orang tua. Kebijakan itu juga sempat mengundang reaksi keras dari publik.

Gaya Dedi yang cenderung mengambil keputusan sendiri tanpa koordinasi dengan lembaga pendidikan terkait, di nilai banyak pihak sebagai bentuk intervensi yang terlalu dalam. Pemerintah daerah memang punya peran penting dalam dunia pendidikan, tapi bukan berarti bisa langsung mengatur detail kegiatan belajar-mengajar.

Pendidikan Bukan Sekadar Gaya, Tapi Sistem

Kalau dipikir-pikir, pendidikan bukan hanya tentang inovasi atau kebijakan viral. Ia adalah sistem yang kompleks. Ada kurikulum, ada guru, ada proses evaluasi, dan tentu saja ada partisipasi siswa dan orang tua. Setiap perubahan di dalamnya harus di rancang secara matang, bukan reaktif dan emosional.

Ketika seorang pemimpin daerah mengambil keputusan berdasarkan opini pribadi dan langsung menerapkannya tanpa melibatkan pihak-pihak terkait, yang terjadi adalah kebingungan. Sekolah jadi ragu, guru jadi bingung, dan orang tua pun bertanya-tanya.

Haruskah Gubernur Ikut Mengatur PR?

Pertanyaannya sekarang: sejauh mana seorang gubernur boleh terlibat dalam urusan pendidikan? Apakah masuk akal jika seorang kepala daerah mengatur sampai soal PR? Bukankah lebih bijak jika setiap elemen pendidikan di beri ruang untuk menjalankan fungsinya masing-masing?

Reaksi DPR terhadap Dedi Mulyadi sebetulnya menjadi pengingat penting bahwa dalam sistem pendidikan, kolaborasi jauh lebih penting daripada dominasi. Pemimpin yang baik bukan hanya yang berani ambil keputusan, tapi juga yang mau mendengarkan masukan dan memberi ruang untuk dialog.